Yudi Latif
INDONESIA merdeka dengan percaya diri menempatkan bangsa ini sebagai andal waris budaya dunia. Kurang dua bulan Setelah pengukuhan internasional bakal kedaulatan Indonesia , pada 18 Februari 1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui mingguan Siasat melansir Surat Kepercayaan Gelanggang.
Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang: ”Kami ialah andal waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini saya teruskan dengan trik saya sendiri”.
Pernyataan tersebut memancangkan sejumlah tanda penting. Dengan memodifikasi tafsir Jennifer Lindsay (2011) , bisa kita sebut beberapa kandungan semangat yang terpancar dari kalimat pembuka itu. Pertama , kelahiran Republik Indonesia dihikmati kesadaran bakal Makna pentingnya kebudayaan bagi eksistensi suatu bangsa. Bahkan , sebelum surat itu , di tengah kancah revolusi yang penuh porak poranda , kuatnya kesadaran serupa itu mendorong penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Nasional I , yang diselenggarakan di Magelang (20-24 Desember 1948).
Mohammad Hatta yang hadir dalam kongres itu sebagai wakil presiden menyatakan , ”Pemerintahan sesuatu negara sanggup hidup subur apabila kebudayaan tinggi tingkatnya , lantaran kebudayaan kuat pula pada sifat pemerintahan negara. Kebudayaan lambat laun mesti sangat kuat tumbuhnya , lantaran kebudayaan ialah ciptaan hidup daripada sesuatu bangsa.” Tentang pentingnya kreativitas budaya , Bung Hatta menyatakan , ”Kebudayaan tidak sanggup dipertahankan saja , kita harus berusaha merobah dan memajukan , oleh lantaran kebudayaan sebagai kultuur , sebagai barang yang tumbuh , sanggup hilang dan bisa maju.”
Kedua , kesadaran pentingnya kebudayaan itu bersifat lintas kecenderungan fatwa dan ideologis. Para seniman dan pemikir yang turut menandatangani surat itu tak usang kemudian bakal berpisah jalan mengikuti preferensi ideologi masing-masing: Asrul Sani jadi pendiri Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi); Sitor Situmorang menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN); Rivai Apin , Basuki Resobowo , dan Pramoedya Ananta Toer menjadi motor Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Ketiga , surat itu setrik sadar menempatkan proyek kebudayaan nasional dalam konteks budaya global; dengan keyakinan diri yang tinggi bahwa ”saya” (bangsa Indonesia) ialah ”ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”. Dalam Makna bahwa bangsa Indonesia bukanlah anak haram dari budaya dunia yang sekadar berfungsi sebagai penampung limbah budaya , obyek tindasan dari kolonisasi budaya , atau konsumen pasif dalam kreasi budaya dunia.
Kesadaran serupa itu juga terpancar dalam pokok pertanyaan Kongres Kebudayaan I: ”gimanakah triknya mendorong kebudayaan kita Agar sanggup maju cepat; dan gimana triknya Agar kebudayaan kita jangan hingga terus bersifat kebudayaan jajahan , bakal tetapi Agar menjadi suatu kebudayaan yang menentang tiap-tiap anasir cultureel imperialisme”.
Keempat , sebagai andal waris budaya dunia , bangsa Indonesia memandang dirinya sebagai taman sari dunia. Di taman sari itu , selain tumbuh aneka puspa indah dari buminya , juga berkembang bunga cantik dari luar yang ditumbuhkan dengan trik-trik Indonesia sendiri sesuai dengan sifat-sifat tanah dan lingkungannya. Dengan itu , Indonesia bukan hanya mendapatkan , melainkan juga memberi kepada dunia.
Basis kebudayaan
Dalam merumuskan kebudayaan nasional di taman sari itu , semenjak 1930-an telah muncul suatu polemik kebudayaan mengenai basis kebudayaan dari Indonesia merdeka , yang mempersoalkan posisi kebudayaan usang (asli) dalam kaitan dengan konsep kebudayaan Timur dan Barat serta kebudayaan Indonesia baru. Sutan Takdir Alisjahbana dalam tulisannya berjudul ”Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” menyatakan , ”... kebudayaan Indonesia tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa , Sunda , atau kebudayaan yang lain.”
Sebagai tandingan , Sanusi Pane dalam tulisannya berjudul ”Jagat Besar dan Kecil” membela eksistensi warisan budaya usang dengan menyampaikan , ”Itulah sebabnya , aku berdiri di Timur yang silam yang keramat bagi aku sendiri mewujudkan kebudayaan yang gres , ramuan zaman Timur yang silam diperkaya dengan ramuan dari Barat.”
Rumusan konstitusi atas kebudayaan nasional itu mengambil jalan sintesis dari pelbagai kutub pandangan yang berkembang. Hal ini terkandung dalam Pasal 32: ”Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”. Dalam klarifikasi pasal ini disebutkan: pertama , ”Kebudayaan bangsa ialah yang timbul sebagai perjuangan budinya rakyat Indonesia sendiri”. Kedua , ”Kebudayaan usang dan orisinil yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa”. Ketiga: ”Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adat , budaya , dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan gres dari kebudayaan gila yang sanggup memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia”.
Dengan kata lain , jalan bangsa Indonesia sebagai andal waris dunia dalam menyebarkan kebudayaan berdasarkan triknya sendiri itu menempuh prinsip: mempertahankan tradisi sendiri yang baik seraya mengambil nilai-nilai gres yang lebih baik. Hatta , sebagai wakil presiden yang hadir di Kongres Kebudayaan I , menyatakan bahwa sebagai bangsa yang memiliki sejarah yang panjang , Indonesia memiliki riwayat kehidupan kebudayaan yang hebat , harum , dan tidak kalah dari kebudayaan negeri-negeri lain.
Kekayaan dan kekuatan khazanah kebudayaan lokal itu , lewat proses penyerbukan silang budaya dengan banyak sekali unsur budaya luar , menjadikan bangsa Indonesia sebagai taman sari dunia dengan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dari daerah Asia mana pun (Oppenheimer , 2010). Mengingat benua Asia merupakan daerah yang menampung jumlah penduduk paling banyak di muka bumi , Indonesia sebagai bangsa yang menyebarkan corak kebudayaan yang paling kaya di Asia sanggup dikatakan sebagai superpower kebudayaan dunia.
Tidak berlebihan jikalau Indonesia berambisi menjadi kiblat kebudayaan dunia. Stimulus ambisi ibarat itu pula barangkali yang mendorong pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memprakarsai penyelenggaraan Forum Kebudayaan Dunia , yang dilaksanakan di Bali (25-28 November 2013). Forum yang bakal dipimpin pribadi Presiden SBY itu bakal dihadiri para pemimpin dunia dari 40 negara , sejumlah peserta Nobel , serta pembitrik lainnya dari dalam dan luar negeri.
Isu pokok yang bakal dibitrikkan berkisar pada empat poin penting yang menyangkut budaya dan pembangunan: budaya dan keberlangsungan sosial , budaya dan keberlangsungan ekonomi , konvergensi budaya dalam konteks global , serta budaya dan keberlangsungan lingkungan. Bagi Indonesia , perhelatan ini diharapkan sanggup menetapkannya sebagai Rumah Dunia bagi Agenda Budaya Internasional (Global Home for the International
Cultural Agenda).
Meskipun hal itu merupakan ambisi yang terpuji , ambisi-ambisi internasional pemimpin Indonesia ketika ini sering kali tercerabut dari alam realitas , dengan menggunakan ”bahasa-bahasa” ala Vicky Prasetyo yang tidak begitu terang kandungan maknanya. Bagaimana Indonesia bisa menjadi tuan rumah yang baik bagi agenda budaya dunia , sedangkan ekspresi pembangunan Indonesia sendiri merupakan pola jelek dari penistaan budaya.
Baik pembangunan ekonomi , pembangunan politik , bahkan pembangunan ”kebudayaan” sendiri , tidak mempertimbangkan nilai-nilai budaya sebagai sesuatu yang penting. Pembangunan ekonomi terus memacu pertumbuhan berbasis pengurasan sumber daya alam tanpa memperhatikan ”nilai tambah” berbasis pengembangan ”modal budaya” (knowledge capital). Di seantero negeri , kekuatan modal dan korporasi mendikte perumusan ”bahasa” di ruang publik , mulai nama perumahan hingga nama pemakaman.
Liberalisasi dan dekulturisasi
Pemerintahan Indonesia yang terjerat korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang jelek dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya , globalisasi bukan saja mengakibatkan global village (dusun dunia) , tetapi juga global pillage (perampasan dunia).
Dalam lemahnya kepemimpinan negara , globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial.
Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang sanggup memastikan apa yang bakal terjadi , yang bakal memengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm , 2007).
Halangan dalam promosi HAM pasca- Orde gres terutama tiba dari hegemoni ideologi neoliberalisme yang menyerang fondasi dasar sistem hak asasi manusia: kombinasi hak sipil , politik , ekonomi , sosial , dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial , globalisasi pasar meningkatkan ketidaksetaraan dan dekulturisasi kelompok marjinal dan bentrokan etnosentrisme di dalam negara , dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.
Dengan demokrasi padat modal , perangkat keras (prosedur kelembagaan) politik mengalami proses demokratisasi; tetapi perangkat lunak (budaya politik) masih tetap bersifat nepotis-feodalistis. Demokrasi permusyawaratan yang mengandung harapan berkebudayaan terancam sekarat oleh serangan ”superkapitalisme” , yang menggambarkan perluasan persaingan dunia bisnis yang merambah dunia politik. Dengan kata lain , ”kapitalisme telah menaklukkan demokrasi”.
Pada tingkat nasional , salah satu efek utama penetrasi kapitalisme ke dalam kehidupan berdemokrasi: meredupnya kekuatan kewargaan. Benjamin Barber (2007) memperlihatkan gimana kapitalisme yang membentuk budaya konsumerisme membahayakan demokrasi. Demokrasi tak lagi digerakkan oleh rasionalitas produksi , tetapi oleh gaya hidup konsumeris , yang menukar kapasitas pemimpin dengan impresi pencitraan.
Dalam pembangunan kebudayaan sendiri , informasi budaya cenderung didekati sekadar paket turisme. Itu pun tidak direncanakan dan diusahakan setrik sungguh-sungguh sehingga capaiannya masih jauh di bawah Malaysia dengan khazanah budaya tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan budaya Indonesia. Klaim Malaysia sebagai ”The Truly Asia” bergotong-royong bisa dengan gampang dipatahkan dengan mempromosikan Riau sebagai ”The Truly Malay”. Alih-alih , yang terjadi justru naskah-naskah Melayu Kuno sebagai kekayaan budaya Riau (pusat dunia Melayu) sudah banyak berpindah tangan menjadi koleksi Malaysia.
Elite politik Indonesia telah begitu banyak bitrik wacana globalisasi dengan begitu sedikit perjuangan menghindarkan bangsa dari jebakan ”pecundang”. Globalisasi mestinya tidak berjalan satu arah , lantaran dengan kreativitas dan kerja keras , setiap bangsa punya peluang untuk membaliknya (reverse globalization) , ibarat Gangnam style Korea Selatan yang bisa menembus jantung Hollywood , demam budaya Latin di Los Angeles , serta penetrasi industri film Bollywood dan film mandarin dalam industri perfilman dunia.
Tanpa wawasan dan akad kebudayaan , Indonesia ialah raksasa budaya yang pingsan , tercekik oleh kecenderungan untuk menjadikan ekonomi dan politik sebagai panglima. Padahal , kebudayaan ialah kompas yang mengarahkan pembangunan ekonomi dan politik ke arah kebaikan dan keagungan. Untuk memulihkannya diharapkan lebih dari sekadar pepesan kosong pencitraan. Perhelatan Forum Kebudayaan Dunia di Bali seyogianya menjadi wahana refleksi diri , gimana memerankan Indonesia sebagai andal waris budaya dunia; dengan menyebarkan praktik pembangunan berwawasan kebudayaan. Tunjukan perbuatanmu sesuai dengan kebesaran kebudayaanmu , maka seluruh dunia bakal menyaksikan Indonesia sebagai kiblat budaya dunia!
Yudi Latif , Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Andal Waris Budaya Dunia"