Ikrar Nusa Bhakti
Itulah hubungan antardua negara tetangga yang pastinya sering mengalami gesekan-gesekan dan kita tak sanggup menentukan setrik geografis , siapa yang harus menjadi tetangga kita.
Dalam sepekan ini , hubungan Indonesia-Australia kembali mengalami titik nadir jawaban gosip yang dilansir media Indonesia dan terlebih lagi Australia mengenai penyadapan yang dilakukan Direktorat Sinyal Australia terhadap pembitrikan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan beberapa anggota penting kabinet , mantan Wapres Jusuf Kalla , dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Semua gosip tersebut bersumber pada bocoran informasi intelijen yang dilakukan oleh mantan pekerja lepas (outsourcing) Badan Keamanan Amerika Serikat (NSA) , Edward Snowden , yang sekarang mendapat suaka politik di Rusia.
Satu hal yang menarik , penyadapan yang diungkap pers itu terjadi selama 15 hari pada Agustus 2009 , ketika gres saja Indonesia melaksanakan pemilihan presiden pribadi untuk kedua kalinya yang dimenangi SBY. Hal yang menarik pula , hubungan antara Presiden SBY dan PM Kevin Rudd dari Partai Buruh amatlah mesra. Rudd gres dua tahun menjabat sebagai PM Australia Setelah mengalahkan mantan PM John Howard dari pemerintahan koalisi Liberal Nasional pada Oktober 2007. Kekuasaan Rudd sempat diambil alih wakilnya , Julia Gillard , pada September 2010-Juni 2013.
Kini , pemerintahan di Australia di tangan pemerintahan koalisi Liberal-Nasional kembali Setelah Anthony John Abbott mengalahkan PM Kevin Rudd pada pemilu federal Australia , September 2013. Abbott yang menulis buku Tony Abbott The Battlelines ialah tokoh politik Australia yang terus jelas mengakui dirinya kurang menguasai politik internasional. Namun , sebagai tokoh sentral di pemerintahan Australia , tentunya ia sekarang harus benar-benar memahami dan menguasai liku-liku diplomasi dan politik internasional , termasuk gimana mengelola hubungan bilateral dengan Indonesia.
Bagai ”roller coaster”
Hubungan Indonesia-Australia , ibarat dikemukakan mantan supervisor penulis , Prof Dr Colin Brown , memang bagaikan roller coaster yang naik ke puncak setrik perlahan dan begitu hingga di puncak bakal turun drastis ke titik nadir. Fenomena ini sudah terjadi semenjak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kita tentunya tak bakal lupa gimana pemerintahan Partai Buruh Australia di bawah PM Joseph Benedict Chifley berupaya keras membantu Indonesia mendapat pengukuhan internasional atas kemerdekaannya. Hubungan bilateral yang sangat elok itu agak terganggu ketika pemerintahan koalisi Liberal-Country/National Party di bawah PM Robert Gordon Menzies berkuasa di Australia. Dua isu politik yang mencuat ketika itu ialah kasus usaha Indonesia mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi dan juga konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.
Pada kala pertengahan 1970-an , hubungan dua pemimpin negara , Presiden Soeharto dan PM Australia , dari PM Gough Whitlam dari Partai Buruh , juga begitu baik , termasuk gimana kedua negara mencari solusi atas kasus konflik internal di Timor Timur. Hubungan baik itu tetap berlanjut Setelah Whitlam dipecat oleh Gubernur Jenderal Australia Sir John Kerr pada November 1975 dan digantikan PM Malcolm Fraser dari koalisi Liberal-Nasional. Adalah Malcolm Fraser yang mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur setrik de jure dan de facto , tetapi tetap mencatat bahwa referendum belum dilaksanakan di Timor Timur.
Pada kala PM Robert James Lee Hawke (Bob Hawke) dari partai Buruh , 1983-1991 , Indonesia juga pernah mengalami hubungan jelek dengan Australia jawaban Maknakel David Jenkins di The Sydney Morning Herald , 10 April 1986 , berjudul ”After Marcos , now for Soeharto’s millions”. Sebagai jawaban , Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie membatalkan kunjungannya ke Australia serta Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani menutup Selat Sunda dan Selat Lombok selama dua jam , dengan alasan ABRI sedang melaksanakan latihan militer di Alur Laut Kepulauan Indonesia tersebut. Harian Angkatan Bersenjata juga mengkritik tajam Australia alasannya ialah dari kajian Paul Dibb tahun 1986 berjudul Review of Australia’s Defence Capabilities , Indonesia dipandang sebagai ”Negara , dari dan melalui mana bahaya terhadap Australia sanggup dilakukan”. Menlu Gareth Evans yang menggantikan Bill Hayden pada 1988 berupaya keras memperbaiki hubungan bilateral melalui pendekatan multidimensional yang bukan melulu kolaborasi politik , diplomasi , dan keamanan , melainkan ekonomi dan sosial budaya.
Hubungan baik kemudian tercipta pada kala PM Paul Keating (Partai Buruh) yang sangat dekat dengan Soeharto , apalagi semenjak Keating menyatakan mantranya bahwa ”There is no other country is more important for Australia , than Indonesia” (tak ada negara yang lebih penting bagi Australia , kecuali Indonesia). Indonesia-Australia bahkan kemudian mengikatkan diri ke dalam suatu traktat Agreement on Maintaining Security (Persetujuan Penjagaan Keamanan).
PM John Howard dari Liberal-Nasional yang menggantikan Keating pada 1996 berupaya keras menjaga hubungan baik Jakarta-Canberra. Sayangnya , hubungan baik itu terganggu pada 1999 ketika referendum di Timor Timur akibatnya dimenangi oleh mereka yang ingin merdeka. Namun , ialah Australia sebagai negara tetangga yang menjadi salah satu negara pertama yang memperlihatkan santunan besar-besaran ketika Aceh ditimpa tragedi tsunami pada Desember 2004. Pada kala John Howard pula Indonesia-Australia menandatangani Lombok Treaty pengganti persetujuan penjagaan keamanan kala Paul Keating dan menimbulkan Indonesia negara utama peserta santunan luar negeri Australia.
Transisi kepemimpinan
Pada Juni 2013 penulis menjadi salah satu pembitrik pada workshop yang diselenggarakan La Trobe University dan Universitas Islam Negeri Jakarta di Melbourne membahas isu multi-cultural society dan solusi pencegahan konflik. Di situ dibahas pula gimana masa depan hubungan Indonesia-Australia menghadapi perubahan kepemimpinan nasional di Australia dan Indonesia.
Pada 19 November 2013 , penulis dengan beberapa teman dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia , Universitas Indonesia , dan Universitas Gadjah Mada diundang seminar di almamater penulis , Griffith University , Nathan Campus , Brisbane , Australia , membitrikkan transisi kepemimpinan dan masa depan hubungan Australia-Indonesia , tidak hanya ditinjau dari segi bilateral , tetapi juga gimana Indonesia-Australia membuatkan kolaborasi ekonomi , termasuk di APEC.
Pada sesi transisi kepemimpinan , seorang dosen Griffith University menyatakan bahwa Indonesia sangat murka kepada Australia soal penyadapan alasannya ialah sebagai negara tetangga yang akrab perilaku saling percaya itu penting. Oleh alasannya ialah itu , penyadapan tidak sanggup diterima atau bersifat tidak bermoral dari sisi pandang demokrasi. Penulis juga diundang untuk obrolan setrik pribadi di kegiatan televisi ABC News 24 di studionya di tepi selatan Sungai Brisbane.
Ketika pembawa gosip menanyakan dari Studio ABC di Sydney , siapa yang harus angkat telepon lebih dulu , apakah PM Tony Abbott atau Presiden SBY , penulis katakan Abbott harus melaksanakan hot line dengan SBY. Penulis juga menyatakan bahwa baik Abbott maupun SBY sebaiknya mengurangi penggunaan media massa , termasuk media umum , sebagai belahan dari Megaphone Diplomacy alasannya ialah hanya bakal memperburuk hubungan kedua negara. Pers dan sebagian rakyat Australia memang masih memiliki persepsi yang salah mengenai Indonesia yang dipandang masih di bawah rezim militer , suatu legasi dari terbunuhnya lima wartawan Australia di Balibo pada tahun 1974 dan pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia pada masa Orde Baru.
Kita juga harus memaklumi mengapa Tony Abbott menyatakan di DPR federal Australia bahwa ia menepis kemungkinan usul maaf kepada Indonesia (hanya ungkapan ”penyesalan yang mendalam”) alasannya ialah itu ialah untuk konsumsi domestik politik Australia. Sikap keras Indonesia yang memanggil pulang Dubes RI untuk Australia dan menghentikan kolaborasi militer dan intelijen kedua negara serta ketakinginan Indonesia dalam membantu Australia dalam hal penanganan kasus irregular migrants ialah belahan dari taktik diplomasi Indonesia yang sangat terukur semoga Australia meminta maaf kepada Indonesia. Dari sisi lain , pernyataan penyesalan mendalam PM Tony Abbott atas yang terjadi pada 2009 itu setrik diplomatik sanggup dikatakan sesuatu yang paling mungkin dikeluarkan oleh pemimpin Australia.
Para pemimpin dan rakyat Indonesia memang pantas murka atas kejadian penyadapan oleh Australia tersebut. Namun , ibarat dinyatakan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono bahwa Indonesia juga pernah melaksanakan penyadapan terhadap Australia memperlihatkan bahwa pengumpulan informasi setrik terbuka dan tertutup ialah belahan dari kerja intelijen banyak sekali negara. Persoalannya , apakah itu untuk menghancurkan negara tetangga dan teman ataukah belahan dari menjaga kepentingan nasional Indonesia dan juga negara-negara sahabat.
Kita harus rasional dan jangan terlalu emosional menyikapi kasus penyadapan alasannya ialah masih banyak hal positif dari kolaborasi bilateral Indonesia-Australia , baik dalam bidang politik , pertahanan , keamanan , ekonomi , sosial , dan budaya. Indonesia dan Australia juga memiliki kepentingan bersama dalam menjaga keamanan laut di Samudra Hindia , Laut China Selatan , Asia Tenggara , dan Pasifik Selatan. Belum lagi kepentingan kedua negara di dalam APEC , G-20 , East Asia Community , dan kolaborasi multilateral lainnya. Dari sisi keseimbangan diplomasi , apabila Garuda sanggup murka terhadap Kanguru yang suka melompat-lompat , kita juga harus berani melaksanakan protes keras yang sama terhadap Amerika Serikat alasannya ialah operasi intelijen Australia ialah belahan dari kolaborasi intelijen lima negara yaitu AS , Inggris , Kanada , Australia dan Selandia Baru. Beranikah Indonesia melaksanakan itu?
Ikrar Nusa Bhakti , Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs , Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jikalau Garuda Murka"