Ivan Hadar
PEMIMPIN seharusnya yakni beliau yang dipercaya luas. Dalam tindakannya , terasa ada niat baik untuk kemaslahatan rakyat.
Ketegasannya menyiratkan kecintaan pada keadilan. Keberpihakannya teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua. Ketika merasa bersalah , ia tidak sungkan memohon maaf. Perilakunya nrimo , bukan sekadar pencitraan. Ia menjadi referensi , higienis , memiliki sense of crisis , dan memperlihatkan keprihatinan serta solidaritas dalam sikap atas banyak sekali beban yang sedang dan bakal dipikul rakyat.
Sayangnya , di negeri yang memiliki modal kekayaan alam berlimpah untuk menjadi negara makmur dan sejahtera ini , kita jarang menemukan pemimpin menyerupai itu. Boleh jadi alasannya dalam menapaki jenjang karier , baik di birokrasi maupun partai politik , sulit menjadi pemimpin yang baik. Di tengah rendahnya keteladanan para pemimpin , muncul figur menyerupai Jokowi dan segelintir lainnya. Mereka seolah barang langka tanpa saingan.
Perilaku aneh
Dalam merindukan pemimpin yang berpihak kepada rakyat , saya teringat buku Jean Ziegler , Les Nouveaux Maitres du Monde (2002). Dalam potongan perihal korupsi , Ziegler bercerita perihal Swedia , Finlandia , Norwegia , dan Denmark , di mana para pejabat tinggi berjalan kaki , naik sepeda , atau menggunakan kendaraan umum ke kantor. Di negara dengan kesadaran rakyat yang tinggi , seorang menteri atau presiden yang berangkat kerja dengan kendaraan beroda empat dikawal motor polisi bersirene meraung-raung bakal dikritik habis. Sang presiden diyakini sulit terpilih kembali.
Rumah sebagian pemimpin populer Eropa , menyerupai Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria) , terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jelas , jauh berbeda dengan ”istana” kebanyakan pemimpin negara berkembang , termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan: makin miskin sebuah bangsa , sering kali semakin glamor kehidupan dan ”perilaku aneh” segelintir elite penguasanya.
Masih segar di ingatan kita , dikala kisah busung lapar masih menyisakan keprihatinan mendalam dan permintaan penghematan dari pemerintah , mencuat gosip harapan (mayoritas) anggota tubuh legislatif menaikkan penghasilan dari honor yang sudah puluhan juta rupiah. Lalu , ”studi banding” ke luar negeri berbiaya miliaran rupiah. Tempat parkir gedung tubuh legislatif pun sering disindir bagai showroom kendaraan beroda empat mewah. Seakan tak mau menjadi ”terdakwa” tunggal , anggota dewan perwakilan rakyat menuding eksekutif. Beda dengan negara tetangga yang lebih kaya dan hanya membawa lima anggota staf , ”rombongan presiden jika ke luar negeri bisa memboyong 75 orang”. Alangkah borosnya!
Tampaknya , dari tiga slogan Revolusi Perancis yang mewarnai sistem demokrasi , terjadi kecenderungan berikut di negeri ini. Ketika ”kebebasan” politik merebak setrik global , padanannya ”kesetaraan” dan ”persaudaraan” nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara menawarkan proteksi bagi warganya dalam kemiskinan dan kesehatan dianggap ”jalan sesat” sosialisme demokrasi. Pemerataan dalam paradigma neo-liberal yang mendominasi praktik ekonomi global dianggap bukan alat ampuh dalam melawan kemiskinan , melainkan memperparah keadaan.
Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan plausible. Pertama , pemerataan bakal mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya setrik produktif sebaliknya hanya bakal ”dikonsumsi” kaum papa. Kedua , sebagian besar sumbangan tak bakal hingga target alasannya dikorup birokrasi. Ketiga , yang jadi perkiraan Bank Dunia , pemerataan bakal membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan alasannya membuat murka ”elite” (World Bank Report , Attacking Pkelewat / overty , 2000 : 56f).
Namun , bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen , E+Z , 2005 : 6) , semua itu setrik teoretis ringkih , setrik empiris salah , dan bila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis. Karena , apa salahnya orang miskin menggunakan dana sumbangan untuk membeli makan , membayar uang sekolah , dan menebus obat? Asumsi kelompok elite bakal murka dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan taktik pembangunan propoor mungkin realistis. Namun , apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu?
Sementara itu , perkiraan orang miskin sama sekali tak berinvestasi yakni sebuah ignoransi. Para pekerja kaki lima , yang rata- rata miskin , di kebanyakan negara berkembang yakni ”pahlawan” yang menyediakan lapangan kerja terbesar. Juga , tanpa kampung-kampung menyerupai di Jakarta , kota besar tidak bakal bisa menyediakan kebutuhan papan warganya. Kontribusi fantastis sektor informal bagi perkembangan ekonomi umumnya luput dari statistik resmi , sementara mereka digusur-gusur para birokrat korup.
Bagi pembangunan , yang lebih penting daripada ”investasi produktif” yakni investasi bagi human capitalmasyarakat miskin , terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak. Dulu banyak negara melaksanakan itu dan sekarang menuai hasil , contohnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu berlaku ”lingkaran setan”. Peningkatan tenaga kerja murah bakal menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.
Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk i) , kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton , ”kesenjangan ekstrem yakni penyebab utama terganjalnya pertumbuhan”. Kemiskinan massal , berdasarkan beliau , bukan hanya akhir stagnasi ekonomi , melainkan penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Propoor Growth and Progrowth Pkelewat / overty Reduction: Meaning , Evidence , and Policy Implications , 2000).
Bersama Eastwood , Lipton menganjurkan taktik cerdas Progrowth Pkelewat / overty Reduction. Dalam kerangka ini , pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia , melainkan investasi produktif yang menjadi pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasilia , Vietnam , dan beberapa negara industri gres membenarkan analisis Lipton.
Pada tataran makroekonomi , Howard White (National and International Redistribution as Tools for Pkelewat / overty Reduction , 2001) setrik empiris memperlihatkan imbas nyata bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan. Pemerataan ikut meningkatkan kebebasan politik , kesetaraan , dan persaudaraan anak bangsa. Karena itu , tanpa terwujudnya kesetaraan dan persaudaraan yang berMakna pemerataan belum dijadikan paradigma yang mewarnai kebijakan ekonomi sebuah bangsa , siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak bakal dilupakan , atau bahkan dihujat rakyatnya sendiri.
Ivan Hadar; Direktur Institute IDE (for Democracy Education); Ketua Dewan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Merindukan Pemimpin Rakyat"