Latest News

Kumpulan Opini Kompas: “Horas Di Hamu Pasifik”

Daoed Joesoef

PESTA liberalisme ekonomi dan politik yang digelar di Bali sudah usai. Para akseptor sudah pulang dengan rasa puas sebab Indonesia , untuk kesekian kalinya , sudah bertindak selaku tuan rumah yang mumpuni.

Negara-negara industri maju puas sekali berhubung mereka telah mendapat hampir semua yang dikehendaki menurut kemampuan tekniko-ekonomis yang sudah usang mereka siapkan sebelumnya.
Indonesia memang sudah biasa menyiapkan panggung pementasan keunggulan-keunggulan asing. Demi kelantrikn dan keamanannya , semua alat negara dikerahkan , termasuk angkatan bersenjata , bagai mau menghadapi Bharatayudha. Kita selalu berbuat jauh lebih banyak daripada yang minimum diharapkan untuk perhelatan internasional ibarat itu. Tidak zakelijk , padahal yang diharapkan soal bisnis. Bagai tuan rumah yang memagarkan bawah umur keleleran asal tamu-tamu puas , bahagia , dan memuji selangit. Dia ”mati” bila ”dipangku”. Para pemimpin gila mengetahui benar psike penguasa kita dan kemudian memanfaatkannya.

APEC pun jadi apek

Maka , bagi negara-bangsa dan rakyat Indonesia , APEC jadi apek. Sampai kini Presiden—selaku kepala negara dan kepala pemerintahan—belum menunjukkan laporan khusus mengenai ”hasil-hasil” yang kita peroleh dari konferensi yang begitu banyak menguras waktu , energi , dan dana. Alih-alih menunjukkan laporan , begitu tiba di Halim Perdanakusuma sepulang dari konferensi , beliau murka dengan nada tinggi wacana ”Bunda Putri” yang dikaitkan dengan dirinya. Dia berjanji bakal mengungkap misteri wanita misterius itu dalam tempo 1-2 hari. Namun , hingga kini janji tetap berupa janji!

APEC jadi apek sebab kelihatannya tanpa follow up di pihak pemerintahan kita. Seharusnya kabinet membentuk satu tim permanen , terdiri atas menteri-menteri terkait , yang khusus menangani urusan APEC , di bawah pimpinan wakil presiden. Atau , paling sedikit , Bappenas membentuk satu kelompok kerja khas untuk keperluan yang sama dan bersifat pluri-disipliner. Hal ini diniscayakan sebab tanpa persiapan yang matang kita bisa kehilangan kedaulatan dan kemandirian , lambat laun tetapi pasti. Ideologi liberalisme APEC bakal membuat Indonesia jadi pasar laku manis dari produk-produk manufaktur gila , termasuk jasa dan pariwisata , tanpa berkemampuan membuat ekspor tanggapan demi keseimbangan neraca perdagangan , jangan dikata neraca pembayaran.

APEC menjadi apek sebab kelihatan sekali pemerintah sulit membuat kesiapan kerja yang diniscayakan. Betapa tidak! Para menteri sudah tidak fokus dalam bertugas sebab perhatian utama sudah tersedot untuk urusan pemilu mendatang. Para bawahannya , staf pejabat kementerian , rata-rata berupa seorang jago yang tidak bisa diandalkan , malah mohon ”petunjuk” atau ”arahan”.

Kemajuan , progress , memang menuntut spesialisasi. Namun , spesialisasi , by its very nature , mengabaikan banyak hal yang diniscayakan. Hal ini membahayakan kemajuan itu sendiri dan , alhasil , melumpuhkan peradaban. Diperlukan kesadaran wacana ranah intelektual di mana tumbuh praktik dan dilema kolaborasi internasional di bidang apa pun.

Guna mengingatkan kesadaran itulah saya pernah menulis Maknakel berjudul ”Horas di Hamu Pasifik”— ”Salam untuk Kamu Pasifik”. Tulisan itu dimasyarakatkan harian sore Sinar Harapan , dua hari berturut-turut , 1 dan 2 Agustus 1983. Tema goresan pena tersebut banyak sedikitnya berupa analisis tertulis saya sembilan tahun sebelumnya.

Ini saya ulangi sebab tidak ditanggapi oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan bisnis kita yang berpegang pada filosofi business as usual. Sementara waktu dan dilema sudah semakin mendesak. Presiden Soeharto sendiri kelihatan tidak bahagia dikala subyek ini saya uraikan setrik verbal kepadanya. Setelah saya dikeluarkan dari Kabinet Pembangunan III , saya dengar ketidaksenangan itu sebab saya dianggap mau mencampuri urusan pokok pemerintahan , nyeleneh.

Tulisan 30 tahun yang kemudian itu agak panjang sebab menyangkut aneka aspek yang berkaitan , ialah industri , perdagangan , pertanian/perkebunan , pertambangan , pelayaran nasional dan internasional , sekuriti nasional , pendidikan dan penyadaran natur Tanah Air kita , sebuah archipelago , negara-bangsa maritim. Keluasan pembahasan tak terelakkan sebab dilema , sama dengan pandangan gres yang menimbulkannya , tiba berkelompok , bagai anggur , pisang , duku , tak sendiri-sendiri bagai pepaya , manggis , mangga. Bukan sebab satu dilema (atau ide) mengandung dilema lain (atau pandangan gres lain) , tetapi sebab masalah/ide yang lain itu setrik alami ”menyatu” , punya pertalian (affinity) dengan masalah/ide yang pertama tadi.

Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Ia ekuivalen dengan pelaksanaan lima kali pembangunan berencana lima tahunan (pelita). Andai kata prediksi saya diterima dan pandangan gres yang saya utarakan diintegrasikan dalam setiap pelita , saya yakin kita tidak kebingungan ibarat kini dalam memasuki kancah persaingan bisnis APEC. Sebagai analisis insiden publik , saya bahagia sebab prakiraan saya ternyata benar , tetapi selaku warga negara terdidik , saya murung dan kecewa. Untuk kesekian kalinya terbukti betapa kita , termasuk intelektual dan akademisi , lebih suka dan gembira mendengar pendapat orang gila daripada pendapat sesama anak bangsa.

Walaupun begitu , diktum to gkelewat / overn is to foresee , ialah proaktif dan tidak reaktif , tetap berlaku di zaman apa pun. Maka , goresan pena kali ini lagi-lagi ingin mengingatkan perilaku terpuji kenegarawanan tersebut. Kita , siapa pun yang merasa terpanggil untuk memimpin Indonesia , kiranya perlu bersiap semenjak kini untuk mengantisipasi , Agar Indonesia siap menghadapi perubahan mendatang dalam aktivitas ekonomi antarbangsa.

Bergeser ke Lautan Hindia

Menurut dugaan saya , aktivitas perdagangan internasional di tempat Pasifik bakal berlalu. Ia bakal bergeser kelak ke tempat Lautan Hindia , persis ibarat gerakan serupa yang kini kian meningkat dari tempat Atlantik ke tempat Pasifik. Memang benar sejarah cenderung berulang kembali. L'histoire se repète! Namun , sejarah juga mengingatkan kita bahwa untuk setiap pengulangan sejarah itu , insan harus membayarnya dengan harga yang lebih mahal. Kecuali kalau insan , kita , memang sudah usang menyiapkan diri guna melayani dan memanfaatkan perubahan tersebut.

Dipandang dari sudut transaksi ekonomi internasional , tempat Lautan Hindia remaja ini memang sedang relatif sepi. Hal ini sebab hampir setiap negara-bangsa yang berada di tepiannya atau Timur Tengah , Afrika Utara dan Tengah sedang mabuk revolusi atau sibuk membenahi struktur serta prosedur politik intern masing-masing.

Maka , mumpung negara-negara di sana sedang sibuk perang saudara dalam rangka memantapkan politiesmasing-masing , Indonesia harus menyiapkan diri untuk bisa bermain kini ini di Pasifik walaupun sudah agak terlambat. Itu sebab persiapan ini , dalam jangka panjang nanti , pasti memiliki kegunaan untuk berperan setrik penuh di tempat Lautan Hindia. Dengan begini , sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui , sekali membuka pundi dua-tiga utang terbayar.

Daoed Joesoef , Alumnus Universitie Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: “Horas Di Hamu Pasifik”"

Total Pageviews