Radhar Panca Dahana
Tentu saja ini dongeng yang tragis. Sangat tragis mengingat kejadian serupa sangat langka dalam sejarah bangsa-bangsa mana pun di dunia. Seorang yang memiliki kuasa begitu tingginya , nomor 9 (setelah Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya) , ternyata mengalami semacam— kalau tidak gangguan—kerapuhan mental atau jiwa ibarat itu. Apa yang terjadi dengan mereka yang selama ini bergaul dengannya berpuluh tahun sehingga tak bisa menduganya. Butakah mata fisik dan batinnya? Apa yang terjadi pada sistem perekrutan pejabat-pejabat publik kita? Apa yang terjadi pada lembaga-lembaga yang diagungkan sebagai institusi suci demokrasi kita?
Tentu saja tanggapan kita bisa jadi sama: ada yang keliru dan rusak dalam semua hal di atas. Apa dan gimana , silakan para mahir menjawabnya. Yang terang , kerusakan dan kekeliruan yang meresap dalam lembaga-lembaga yang kita percaya sebagai sebuah prakondisi bagi terciptanya negara yang sehat dan makmur itu membuat kita merasa murung , murka , dan menyesal. Sama ibarat Presiden SBY.
Namun , saya kira SBY dan kita bersama tidak perlu menyesal , apalagi begitu dalamnya. Sebaliknya , kita harus merasa gembira , bahkan memiliki impian lebih tinggi untuk masa depan , lantaran buat apa kita meratapi Akil Mochtar? Buat apa meratapi MK? Kita justru bahagia lantaran kedua entitas itu membuktikan pada sejarah: upaya pemberantasan korupsi mulai kian menawarkan hasil. Membuktikan bahwa kerja forum ibarat KPK memang ampuh , solid , dan independen. Membuktikan , bergotong-royong , pemerintahan SBY punya andil untuk sukses itu.
Sukses itu membongkar borok bahkan penyakit dalam di badan negeri kita hingga ke akar-akar terkuatnya di kalangan elite , di kalangan yang selama ini kita anggap untouchables dan in-poena alias (memiliki) impunitas. Memang soal korupsi agak berbeda dengan struktur piramida biasa. Ia , segimana adat yang paternalistik , berakar besar lengan berkuasa di atas. Pemberantasannya memang harus dari pucuk-pucuk paling atas sehingga dengan sendirinya terjadi perubahan fundamental di bagian-bagian bawahnya.
Jadi , sepantasnya , kaum Muslim , contohnya , mengucap syukur dan berdoa , berupaya semoga satu per satu akar terjungkit itu terbongkar dan lepas satu per satu. Dengan demikian , Republik yang jungkir balik ini bisa kembali pada kodrat alamiahnya: tegak berdiri di atas akar yang tertanam besar lengan berkuasa di bumi , di keluhuran tradisi dan Ibu Pertiwi , di atas nilai-nilai ideal yang susah-perih-payah diwariskan kepada para pendahulu kita.
Jelata yang berdaya
Dengan kejadian itu , dengan kesadaran yang lebih tinggi dan impian yang lebih besar , kita pun bersama bisa membaca , mengoreksi , dan mengonstitusi realitas dari ke-(ber)-ada-(an) negara dan negeri ini. Saya harus memisahkan pengertian dua terma di atas , yang selama ini agak rancu pemahaman dan pemakaiannya. Yang pertama mengacu pada pengertian ihwal kekuatan (politik , aturan , atau ekonomi) pemerintahan , yang merasa memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur atau mengelola sebuah wilayah beserta penduduknya. Dalam pengertian denotatif , negara ialah ”organisasi di suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat” segimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dalam kitab yang sama , kita menemukan pengertian ”negeri” sebagai ”tanah daerah tinggal suatu bangsa , 2) kampung halaman; daerah kelahiran”. Amerika Serikat ialah sebuah negeri , sedangkan negara ada di beberapa bab wilayahnya. Korea Selatan ialah negara , tetapi negeri ialah keseluruhan bangsa yang ada di semenanjung itu. Indonesia ialah negara kesatuan yang dipimpin oleh presiden sebagai kepala pemerintahan , dan negeri ialah sebuah kesatuan wilayah dan bangsa yang dipimpin oleh seorang kepala negara (sic!) yang semestinya diubah menjadi kepala negeri.
Negara boleh berganti wujud , sifat , dan gaya atau ideologinya. Pemerintahan bahkan boleh tak ada. Akan tetapi , negeri (harus dan bisa) terus berlangsung selama bangsa yang menghuni dan memilikinya tetap solid. Inilah pokok utama kita hingga hari ini: kita ribut dengan problem pemerintahan dan negara (yang terus berubah menjadi menuruti angin global yang bertiup) , tetapi lupa pada keberadaan dan kesehatan negeri dan bangsanya. Karena di dua entitas terakhir itulah ada tidaknya Indonesia ditentukan: dulu , kini , dan nanti.
Akil Mochtar , tersangka korupsi terelite itu , ialah sebuah menandakan bagi keropos dan rapuhnya sebuah negara , lebih khusus lagi pemerintah yang dipercaya—dan difasilitasi—rakyat untuk mengelola semua potensi negeri demi kejayaan bangsa. Tak perlu disesali , tetapi lebih baik disadari bahwa realitas wangi dan involutif itu kini menjadi bab dari diri kita , nasib , dan masa depan belum dewasa bangsa kita. Nyatalah kini , bergotong-royong , justru elite- lah , kaum politik yang selama ini berebut kekuasaan dan kursi-kursi utama dalam jabatan publik , ternyata menjadi alasannya ialah utama kebobrokan dan destruksi multidimensi dari negeri dan bangsa ini.
Negeri dan bangsa hanya menjadi ternak atau sari madu yang terus diisap dan dieksploitasi oleh keserakahan sistem yang dijalankan pemerintah dan disetujui negara (dengan perhiasan apa pun ini). Tingkat keserakahan dan eksploitasi , yang diumpak dan diberi siasat oleh kepentingan gila dan kompradornya tersebut , begitu luar biasa destruktifnya sehingga mestinya ia sudah membuat kerusakan akut bagi Tanah Air ini. Seperti juga banyak terjadi di belahan dunia lainnya , baik di Utara , Selatan , Timur , maupun Barat sendiri.
Inilah kenyataan yang terbukti bahwa negeri ini masih bertahan , tidak terbalkanisasi atau termusimsemikan. Ini tak lain lantaran berkat tugas para penghuni dan pemilik negeri ini sesungguhnya ialah kaum menengah bawah dan rakyat jelata yang terus bergeliat dan bergerak menyatukan diri , membuat sinergi daya tahan hidup (survivality)-nya yang teruji selama lebih dari lima milenia. Di sinilah fakta yang sangat terlambat disadari , apalagi ditindaklanjuti , gimana contohnya ekonomi negeri diselamatkan oleh perjuangan kecil menengah (UKM) , suatu upaya berdikari dari rakyat semesta yang tidak tersentuh tangan negara/pemerintah , yang terus berdaya tanpa peduli ada atau tidaknya negara (pemerintah).
Destruksi pada negeri
Mungkin ketika ini kita semua , segimana kita lihat dalam kolom dan rubrik-rubrik media massa , terlibat dalam perjuangan mengkritisi , mengoreksi , atau membenahi segala hal yang pragmatis dilakukan pemerintah. Ide dan proposal dikeluarkan , yang sayangnya masih berkutat dengan trik berpikir yang sama , paradigma dan dasar epistemologis yang sama: kontinental! Segala upaya yang saya kira bakal menemukan jalan hasilnya yang penuh sesal: kalau tidak buntu , ia sia-sia. Bagaimana hal itu terjadi memang membutuhkan uraian di kertas yang berbeda.
Namun , di sini kita fokus pada tidak hanya efek , tetapi juga penyingkapan realitas yang faktual dari keadaan kita ketika ini. Realitas yang barangkali pantas diberi air mata lantaran demikian rapuhnya kesejatian negara dan pemerintahan kita. Hal yang bergotong-royong masih bukan problem yang kritis dan menggiriskan ketimbang remuk dan rapuhnya soliditas bangsa dan keutuhan negeri ini.
Terbongkarnya kasus sangat memalukan dari RI-9 di atas ialah kabar yang bukan hanya mendorong kita untuk bantu-membantu memperbaiki atau mengubah orientasi negara dan pemerintah kita , setrik sistemik , sekurangnya , untuk menghindari kegagalan total kita dalam berkebudayaan dan membuat peradaban. Namun , juga ia ialah peringatan yang sangat keras lantaran hal di atas sudah membuat situasi yang emergensial , yang darurat , bagi kenyataan dan keberadaan kita (Indonesia) sebagai sebuah negeri , sebuah bangsa.
Apa yang perlu dibaca dari kejadian mutakhir itu ialah realitas insan dan kemanusiaan kita yang entah hingga seberapa dalam mengalami kerusakan mental/jiwanya. Adakah virus ”AM” mendekam atau bersembunyi dalam diri kita masing-masing? Adakah kita , lantaran virus itu , telah menzalimi diri sedemikian rupa sehingga kita tidak hanya mengkhianati martabat atau kehormatan kita sendiri , tetapi juga keluarga , komunitas di mana kita lahir dan dibesarkan , negeri yang kita banggakan , bahkan Dia yang kita puja dan sembah tiap hari dalam kata-kata?
Apakah kita masih bisa bertahan dari provokasi dan semacam legitimasi kedegilan kaum elite yang selama ini kita jadikan pedoman dan acuan? Apakah kita masih bisa menangkal dampak-dampak negatif kultur global yang penetrasinya menggila hingga ke iklan atau gadget sederhana yang beroperasi , bahkan dalam kesendirian kita? Adakah kita merasa nyaman dan bisa mempertahankan survivalitas kita ketika pemerintah justru mendorong kapital-kapital besar menggeser dan menggusur UKM yang menjadi tumpuan hidup istri dan anak kita?
Semua hal itu kalau tidak kita sadari bersama , di tengah alpa , dusta , serta keserakahan politik dan ekonomi elite kita , bakal—walau perlahan—menggerus daya tahan primordial yang kita miliki , sehebat apa pun itu , selama apa pun waktu dulu pernah sukses mempertahankannya. Jika gerusan itu terjadi kian besar lengan berkuasa , longsor , banjir , dan tsunami kebudayaan ialah bom waktu yang ledakannya nanti bukan hanya meratakan bangunan negara dan pemerintahan , melainkan juga mencerai-berai serta melarungkan bangsa dan negeri ini ke samudra zaman yang tiada tepi.
Siapa yang kita pilih , kita percaya , dan kita beri kemudahan untuk mengatasi itu semua , tentu saja ialah pihak yang paling bertanggung jawab. Namun mungkin mereka bakal gagal lantaran borok dan bobrok akut yang dialaminya. Hanya , terserah negara mau dibawa ke mana pun oleh pemerintah yang khianat pada rakyat dan konstitusinya , negeri dan bangsa yang kita miliki ini harus tetap ada dan bergerak maju ke arah yang ditunjuk oleh visi dan imajinasi kita bersama. Kepada merekalah , rakyat semesta , selaiknya kejujuran , dedikasi juga pengorbanan harus kita berikan kalau darurat ini ingin segera kita atasi. Dengarkah , wahai Tuan-tuan Besar? Terdengarkah bunyi ini?
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Darurat Negeri"