Azyumardi Azra
Sebaliknya , dari ke hari publik internasional melihat peningkatan zero-sum- game di antara pemerintah Presiden (interim) Adly Mansour yang didukung militer , institusi al-Azhar dan kelompok liberal setrik bersama melawan IM.
Sementara itu , pemerintahan ”Islamis” Partai Ennahdah di Tunisia juga menerima tantangan kian keras dari oposisi. Meski partai pimpinan Rachid el-Ganouchi ini telah berusaha memoderasikan diri , ketidakpercayaan dan skeptisisme tetap bertahan. Kalangan oposisi menuntut pemerintah Ennahdah mundur dan pemilu kembali diadakan; mereka masih memendam kecurigaan besar lengan berkuasa , Ennahdah tetap memiliki kegiatan Islamis tersembunyi.
Absennya ”civil society”
Harapan bagi tumbuhnya demokrasi di bab Dunia Arab lainnya ”setali tiga uang”. Hampir tidak ada impian bagi demokrasi di Suriah yang masih dilanda perang saudara , yang sekarang harus menghadapi kekuatan internasional dan PBB alasannya yaitu penggunaan senjata kimia. Harapan juga memudar di Irak yang meski beberapa tahun terakhir telah memiliki pemerintahan melalui pemilu , tetap saja dilanda kekerasan sektarian yang menewaskan ribuan orang Sunni dan Syiah.
Demokrasi lebih daripada sekadar eksistensi partai politik , yang dalam beberapa kasus di Dunia Arab , menyerupai Mesir , telah ada semenjak masa pasca-pengambilalihan kekuasaan oleh rezim militer Gamal Abdul Nasser pada 1952. Namun , Mesir semenjak dikala itu lebih menampilkan kekuasaan one-single party system , Partai Persatuan Nasional pimpinan Nasser. Sistem partai tunggal dilanjutkan Presiden Anwar Sadat lewat Partai Nasional Demokrat (al-Hizb al-Watani al-Dimukrati) yang ia dirikan pada 1978 sebagai transformasi dari [Partai] Persatuan Sosialis Arab , partai penguasa semenjak 1962. Meski ada partai-partai lain , mereka tidak lebih daripada sekadar ”pajangan” untuk menutupi otoritarianisme militer.
Demokrasi juga lebih daripada sekadar pemilihan umum yang setrik relatif reguler diadakan penguasa militer Mesir. Pemilu , yang kadang kala disertai referendum untuk mengambil keputusan rakyat , tidak lebih sebagai alat untuk melestarikan status quo kekuasaan militer.
Meski punya pengalaman dengan partai politik dan pemilu , masyarakat dan negara-negara Arab tampak tidak memiliki prasyarat memadai untuk tumbuhnya demokrasi. Pengembangan sejumlah prasyarat itu terperinci memerlukan waktu panjang alasannya yaitu harus disemaikan semenjak dari bibitnya.
Salah satu syarat penting bagi demokrasi untuk tumbuh dan menguat dalam masyarakat yaitu civil society (CS) , yang biasa diterjemahkan sebagai masyarakat sipil , masyarakat kewargaan atau masyarakat madani. Ihwal ihwal apakah Dunia Arab memiliki atau tidak memiliki CS menjadi subyek perdebatan akademis semenjak waktu lama. Sarjana menyerupai Ernest Gellner dan Bernard Lewis berargumen , masyarakat Muslim Arab tidak memiliki lahan sosial-budaya yang aman bagi tumbuhnya masyarakat kewargaan.
Sejumlah sarjana lebih belakangan , menyerupai Dennis J Sullivan dan AA Sachedina , berargumen bahwa CS telah tumbuh dalam masyarakat Muslim Arab semenjak waktu usang dalam bentuk kelompok atau organisasi sukarela , asosiasi perajin , atau paguyuban pedagang. Mereka ini memegang peranan tertentu dalam menumbuhkan solidaritas dan kohesi sosial di antara para anggotanya.
Hemat saya , CS dalam bentuk ormas besar , menyerupai NU dan Muhammadiyah , di Indonesia mangkir dalam Dunia Arab setrik keseluruhan. Memang di Mesir juga ada CS dalam bentuk asosiasi profesional para dokter atau guru contohnya. Namun , terperinci CS menyerupai ini hanya tertarik pada hal menyangkut profesi mereka sendiri; mereka hampir tidak memiliki minat pada dinamika , perkembangan , dan perubahan politik.
Peran ”civil society”
Ketiadaan CS menyerupai NU dan Muhammadiyah di Dunia Arab menjadikan terjadinya head-on-collision , ”laga laga kepala” [kambing] di antara dua kubu kekuatan politik di Dunia Arab. Dalam kasus Mesir , pertarungan hidup-mati terjadi antara militer dan para pendukungnya melawan Ikhwanul Muslimin (IM). Dalam hal Tunisia , Partai Ennahda , partai penguasa , melawan partai dan golongan masyarakat Muslim modernis.
Dengan demikian , tidak ada kekuatan penengah dalam pertarungan kekuasaan di Dunia Arab. Hal ini berbeda dengan CS berbasis Islam di Indonesia yang menjadi kekuatan penengah dan mediasi dalam transisi yang terjadi di Indonesia pada 1998-2001 antara kubu militer dan partai-partai politik. CS Indonesia memainkan tugas penyeimbang (balancing power) di antara pihak-pihak yang terlibat pribadi dalam perebutan kekuasaan.
Lebih lanjut , ketika pertarungan politik menuju ke arah jalan buntu , CS Indonesia sekaligus tampil memperlihatkan kepemimpinan alternatif yang relatif bisa diterima lebih banyak didominasi warga. Hal ini yang terjadi ketika Amien Rais , sebelumnya Ketua Umum PP Muhammadiyah , dipilih sebagai Ketua MPR.
Selanjutnya dalam Sidang Umum MPR 1999 , Abdurrahman Wahid , sebelumnya Ketua PBNU , dipilih sebagai Presiden RI. Sebagai kontras , ketiadaan CS di Dunia Arab menjadikan absennya alternatif kepemimpinan di luar kedua kubu yang bertikai.
Tak kurang pentingnya , CS di Indonesia memainkan tugas lain yang tak kurang krusialnya , yaitu memelihara kohesi sosial. Ketika transisi politik yang begitu cepat mengakibatkan gejolak friksi , konflik vertikal dan horizontal , serta bahkan kekerasan di antara kubu-kubu politik yang bertikai , CS bisa menjaga keadaban (civility) para anggotanya yang masif. Tidak heran , semenjak dasawarsa 1910-an CS Indonesia setrik pribadi atau tidak memainkan tugas instrumental dalam penumbuhan civic culture di kalangan para anggotanya.
Dalam komparasi ini , terlihat negara-negara Arab bakal terus berada dalam transisi demokrasi sangat sulit , pedih , dan panjang. Indonesia yang punya pengalaman panjang dengan CS melalui Institute for Peace and Democracy (IPD) semenjak bangkitnya ”Arab Spring” menyelenggarakan beberapa lembaga ”berbagi pengalaman” (sharing experiences) dengan sejumlah kalangan pemerintahan , tokoh politik , dan politisi politik negara-negara Arab , baik di Jakarta , Bali , maupun Kairo. Namun , masih banyak lagi yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan pengalaman dengan warga dan masyarakat Dunia Arab sehingga sanggup menginspirasi penumbuhan civil society dalam negara-bangsa mereka.
Azyumardi Azra , Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Dewan Penasihat Institute for Peace and Democracy/Bali Democracy Forum
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Masyarakat Madani"